Putu Rahwidhiyasa, Direktur Bisnis dan Kewirausahaan Syariah & Plt Direktur Industri Produk Halal, Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS)
Saat ini, terdapat banyak properti yang ditawarkan baik itu untuk kaum muda yang baru pertama kali mempunyai rumah, keluarga yang ingin melakukan pergantian rumah, maupun sekedar investasi. Banyak metode pembiayaan untuk pembelian properti tersebut, salah satunya dengan menggunakan KPR Syariah.
Dilansir dari Kompas, saat ini banyak nasabah yang memilih model pembiayaan KPR Syariah dikarenakan tidak terdapatnya perubahan bunga setiap tahunnya yang dapat mempengaruhi biaya cicilan. Tetapi, apa KPR Syariah itu sendiri?
Menurut OJK, KPR Syariah adalah pembiayaan kredit kepemilikan tempat tinggal (rumah atau apartemen) berdasarkan syariat Islam yang bebas dari riba. Pada KPR Konvensional, transaksi yang dilakukan adalah transaksi uang, sedangkan pada KPR Syariah, transaksi yang dilakukan adalah transaksi barang.
Terdapat tiga jenis akad pada proses KPR Syariah.
Akad Jual Beli atau Akad Murabahah.
Menurut Nopriansyah (2017), Akad Murabahah adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Pada prosesnya, Bank akan membelikan barang atau dalam hal ini rumah atau apartemen, kemudian menjualnya kembali dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan oleh Bank untuk kemudian diangsur oleh pengguna akad.
Akad Musyarakah Mutanaqisah (Kerja Sama – Sewa)
Akad Musyarakah Mutanaqisah adalah bentuk kerjasama kedua belah pihak untuk kepemilikan asset dimana kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak yang disebabkan pengalihan hak komersial secara bertahap kepada pihak lainnya (OJK).
Akad lainnya: Istishna, Ijarah Muntahiyyah Bit Tamlik (IMBT)
Ijarah Muntahiyyah Bit Tamlik (IMBT) adalah transaksi sewa dengan perjanjian untuk menjual dan menghibahkan asset di akhir periode sehingga transaksi ini akan diakhiri dengan perpindahan kepemilikan asset ke pihak lain (Arwan, 2019).
Tower pemancar sinyal telpon seluler kini bisa *terbang!
Tulisan ini dibuat sebagai pemancing refleksi, untuk bisa menyimpulkan seberapa kuat perusahaan raksasa bisa bertahan dari disrupsi. Kita ambil contoh Telkomsel, Indosat, XL, 3 dan operator telepon seluler lain (bila ada). Empat perusahaan ini bersaing sangat keras sejak belasan tahun lalu. Salah satu cara mereka bersaing adalah dengan memperluas jaringan layanan. Mereka akan berlomba memasang pemancar sinyal sebanyak mungkin. Nama pemancar sinyal tsb adalah BTS (Base Transceiver Station). Bentuknya berupa tower besi berwarna merah (pada umumnya). Jumlah BTS di Indonesia tahun 2018 sekitar 400-an ribu buah. Perusahaan operator telepon seluler berusaha memasang BTS sebanyak-banyaknya. Siapa yang bisa memasang sebanyak mungkin BTS, dialah pemenangnya. Untuk kasus Indonesia, Telkomsel lah pemenangnya. Memiliki sekitar 200 ribu BTS. Diikuti XL sekitar 100 ribu. Bagaimana XL merebut posisi ke dua adalah cerita panjang ‘berdarah-darah’. XL merebut pasar dengan mengorbankan marjin bisnis. Diskon 99% harga pulsanya. Pasang baliho persis di sebelah kompetitor. Dan seterusnya. Dengan cara ini, XL berhasil masuk ke posisi dua, menggeser Indosat. Pilihan strategi XL ini memang satu²nya hal yang bisa dilakukan. Cara lain, mungkin sangat sulit dilakukan. Terlalu mahal bagi XL untuk menanam BTS lebih banyak dari Telkomsel. Kalau harga satu tower BTS sekitar 2 milyar rupiah, perlu 100 ribu BTS tambahan bagi XL untuk menyaingi telkomsel, tinggal hitung saja dana yang diperlukan. 200 triliun lah kira². Udah gitu, seandainya benar² terbangun BTS sebanyak itu, belum tentu diikuti dengan penambahan jumlah pelanggan! Dari sisi layanan pelanggan juga mungkin akan sama saja. Karena BTS XL, Telkomsel, Indosat, 3 dll menggunakan teknologi dan kualitas yang mirip saja. Persaingan berdarah-darah akan berkepanjangan dengan cara ini.
BTS Terbang!
Di sisi dunia lain, ada sebuah perusahaan yang berpikir keras, bagaimana bisa mengantarkan sinyal telepon ke pelanggan tanpa tergantung dengan rumitnya pengelolaan BTS ala Telkomsel dkk. Sekaligus memiliki sinyal yang jauh lebih bagus dari BTS statis yang ditanam di tanah. Perusahaan ini adalah Google. Dia ingin membangun BTS terbang. BTS-nya ditempel di balon terbang, dinamai Google Loon. Dalihnya sih demi menjangkau masyarakat pedesaan yang jauh dari infrastruktur kota. Tapi kita bisa prediksi, kalau project ini berhasil, Google Loon akan dipasang di mana-mana di seluruh dunia. Mungkin Telkomsel dkk merasa lega. Project Google Loon ini gagal.
BTS Angkasa
Kalau BTS terbang, itu terbang di udara, di atmosfer. Sementara BTS langit itu ada di angkasa, di spaceyard, di luar atmosfer. Statis di jalur spacetime-nya. BTS ini, supaya cukup dekat dengan bumi, dia harus bergerak dengan kecepatan tertentu mengelilingi bumi supaya gaya sentrifugal (gaya yang menarik benda menjauhi pusat rotasi bumi) sama besar dengan grafitasi bumi. Dengan demikian, BTS angkasa ini akan berada di jarak yang konstan dengan bumi. Maka, BTS ini akan bergerak mengelilingi bumi dalam kecepatan tinggi. Kecepatannya kira-kira sanggup mengelilingi bumi setiap 100 menit. BTS ini sudah ada, kira-kira sudah 1000 buah, dan sudah diujicoba oleh kira-kira 10 ribu orang. Banyak yang testimoni bahwa kecepatan internet yang bisa diterima di bumi dari BTS angkasa ini sekitar 150 Mbps. Jauh lebih cepat dari BTS darat yang dalam kasus saya, paling 1 Mbps. SpaceX, perusahaan yang memiliki BTS angkasa ini berencana menempatkan 42 ribu buah BTS angkasa ini. Namanya Starlink. Dengan BTS sebanyak ini, SpaceX berharap bisa memberikan sinyal internet ke seluruh penduduk bumi di mana pun berada dengan kecepatan tinggi. Dengan kecepatan internet yang sangat tinggi dan juga bisa diakses di seluruh lokasi (misalnya di kutub atau di tengah laut pasifik), atau di puncak gunung Slamet di Purbalingga, mungkin akan sangat banyak penduduk bumi yang ingin menikmatinya. Termasuk saya, pengen banget nyoba. Cuman pas saya order alat penerima sinyal Starlink, baru akan dikirim tahun 2022. Jadi sementara sy tunda keinginan itu.
Nasib Telkom(sel) dan perusahaan sejenisnya
Orang bilang, nasib itu sangat ditentukan oleh keputusan yang diambil. Sehingga, nasib Telkom(sel) dan perusahaan sejenis sangat bergantung pada strategi yang diambil. Kalau punya duit, bisa juga beli aja 100% saham SpaceX, sehingga Telkom(sel) bisa menguasai 100% sinyal internet dunia melalui BTS angkasa Starlink. Dan biarkan seluruh perusahaan pengelola BTS darat di seluruh dunia terdisrupsi dan tergantung pada Starlink dari Telkom(sel). Sementara itu, stategi “mempertahankan BTS darat” bisa jadi perlu banyak penyesuaian. Paling yang bisa jadi bisnis di darat adalah BTS indoor, BTS yang melayani pengiriman sinyal di dalam ruangan (mall, kantor, lift, gua, dll).
Indonesia memiliki Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024, dengan visi Indonesia yang mandiri, makmur, dan madani dengan menjadi pusat ekonomi syariah terkemuka dunia. Salah satu implementasinya, menjadi pusat produsen halal dunia.
MEKSI menetapkan empat strategi utama, yaitu penguatan rantai nilai halal, penguatan sektor keuangan syariah, penguatan UMKM sebagai penggerak utama rantai nilai halal, serta pemanfaatan dan penguatan ekonomi digital.
Penulis fokus pada penguatan UMKM, pertimbangannya UMKM menyebar di seluruh negeri dengan jumlah sekitar 64 juta unit, dan memiliki kontribusi 60 persen dari PDB nasional (2019) dan 97 persen terhadap penciptaan lapangan pekerjaan.
Namun di sisi ekspor, kontribusi UMKM baru 14,37 persen (2018). Ini menunjukkan, peningkatan skala bisnis UMKM berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk industri halal karena UMKM dipercaya sebagai penggerak utama rantai nilai halal.
Karena itu, diperlukan upaya strategis dan praktis untuk pengembangan, peningkatan skala usaha, dan perluasan kegiatan bisnis UMKM.
Karena itu, diperlukan upaya strategis dan praktis untuk pengembangan, peningkatan skala usaha, dan perluasan kegiatan bisnis UMKM.
Mengingat data UMKM masih bersifat agregat dan terdapat keterbatasan untuk memisahkan data spesifik tentang UMKM industri halal, bahasan di sini dimaksudkan untuk UMKM industri halal yang juga relevan dengan UMKM lainnya.
Sudah banyak upaya pendampingan, pengembangan, dan percepatan UMKM industri halal, tetapi sebagian masih berjalan sendiri-sendiri. Jika disinkronkan ke dalam program sinergi percepatan usaha UMKM industri halal, insya Allah lebih signifikan.
Pertama, sinergi pelatihan dan infrastruktur pelatihan. Pendamping atau inkubator, umumnya menyusun modul dan melaksanakan pelatihan sendiri. Jika modul itu, terutama yang dasar, disusun dan digunakan bersama, bisa mengurangi waktu dan biaya.
Infrastruktur juga memungkinkan dimanfaatkan bersama, misalnya, fasilitas e-learning dan sistem pembelajaran lewat gawai atau teknologi.
Di samping itu, modul pelatihan dapat sekaligus di-benchmark dan menggunakan modul terbaik sehingga dapat cepat meniru pelaksanaan pelatihan yang terbaik, yang dilakukan inkubator/pendamping tertentu.
Infrastruktur juga memungkinkan dimanfaatkan bersama, misalnya, fasilitas e-learning dan sistem pembelajaran lewat gawai atau teknologi.
Kedua, sinergi pendampingan pengelolaan usaha dan bisnis, terutama usaha dengan klaster yang sama. Sinergi memudahkan benchmarking dengan cepat atas keberhasilan di satu klaster ke klaster lain.
Ketiga, sinergi pelatihan dan pendampingan sertifikasi halal. Bagi UMKM industri halal, mendapatkan sertifikat halal menjadi suatu keniscayaan. Apalagi, UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, mewajibkan beberapa produk memiliki sertifikat halal.
Pemahaman pelaku UMKM belum merata terkait proses untuk mendapatkan sertifikat halal. Maka itu, penyusunan modul dan pelatihan untuk mendapatkan sertifikat halal, yang diintegrasikan dengan pelatihan atau pendampingan bisnis UMKM sangat penting.
Banyak hal dapat dicatat ke dalam basis data UMKM, dengan sistem pengamanan tinggi dan untuk bermacam analisis dan tujuan.
Demikian pula, mendampingi UMKM dalam sertifikasi halal. Keempat, sinergi data pelatihan dan pendampingan. Banyak hal dapat dicatat ke dalam basis data UMKM, dengan sistem pengamanan tinggi dan untuk bermacam analisis dan tujuan.
Misalnya, lembaga penyedia pembiayaan dapat mengakses data dan mencari calon nasabah sesuai target pasarnya, setiap UMKM tercatat telah mendapatkan bantuan sehingga menghindari pendampingan ganda, bantuan kepada UMKM (bila ada) lebih tepat sasaran.
Kelima, sinergi pembiayaan dan pendanaan. Basis data UMKM dapat dimanfaatkan, dengan persetujuan UMKM bersangkutan, oleh lembaga penyedia pembiayaan dan pendanaan dengan skema bervariasi. Yakni, pembiayaan bersifat sosial, semikomersial, dan bersifat komersial. Contoh pembiayaan bersifat sosial, dapat berasal dari badan dan lembaga amil zakat. Pembiayaan semikomersial bisa dari kredit usaha rakyat yang dikelola bank syariah. Sedangkan pembiayaan komersial, yakni pembiayaan umum dari bank syariah, teknologi finansial (tekfin) syariah, dan lainnya.
Keenam, sinergi pemasaran dan business matching. Tentu, semua akan maksimal bila UMKM bisa menjual produk atau jasanya.
Beberapa pihak dapat membantu pemasaran untuk pasar lokal dan global. Untuk pasar lokal, dapat dimanfaatkan pola kemitraan, misalnya dengan BUMN, korporasi besar, atau pemerintah daerah masing-masing. Sedangkan untuk pasar global, peran Kementerian Luar Negeri melalui kedutaan besarnya sangat membantu UMKM, yang berorientasi ekspor.
Sinergi akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses penguatan UMKM, yang dapat memperkuat kapasitas UMKM industri halal dan kesejahteraan masyarakat, serta menjadikan Indonesia pusat produsen halal dunia.
Satu Tahun Masehi itu ditandai dengan kejadian yang sumir. Memperingati kelahiran siapa? Di tahun Hijriah, jelas ditandai dengan hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah al Munawarah, kota yang penuh cahaya. Perpindahan penuh risiko menuju kota penuh cahaya, kota penuh harapan, yang bisa dinikmati siapa pun (rahmatan lil ‘alamin). Seakan mengajarkan, bahwa setiap tahun baru Hijriah, kita perlu perbaharui semangat kita dalam membangun kota peradaban, berani melangkah melewati berbagai konsekuensinya.
Dua Di tahun Masehi, biasanya santer pada buat resolusi, untuk langsing lah, untuk lebih disiplin lah, untuk berhenti merokok lah. Dan seterusnya. Biasanya resolusi untuk pribadi. Di tahun baru Hijriah, kita diajari untuk “berhijrah”. Buatlah resolusi keumatan, demi kebaikan ummat. Melebihi kepentingan pribadi kita. Beyond your personal interest. Resolusi saya tahun Hijriah ini, bertekad menginovasi Indonesia, membantu bangsa Indonesia menjadi the best nation in the world, membuat mereka mampu menciptakan peradaban global mulia. Dengan segala keterbatasan yang kumiliki.
Tiga Di tahun Masehi, tahun akademik berjalan selama 365 hari. Negara² lain pun demikian. Di tahun Hijriah, hanya 354 hari. Seandainya saja tahun akademik bangsa Indonesia menggunakan tahun Hijriah, kita akan lebih maju 10 – 12 hari lebih cepat dibandingkan negara² lain, tiap tahun. Dalam 10 tahun bangsa Indonesia sudah lebih maju 120 hari. Bila sekolah² kita pake Hijriah, libur lebaran bisa disatukan dengan libur kenaikan kelas. Total libur setahun bisa diperpendek 2 minggu (14 hari!) Bila disatukan, totalnya bisa hemat 10-12 hari + 14 hari! Alias 25 hari dalam setahun! Dalam sepuluh tahun hemat 250 hari alias hemat 1 tahun! 😱
Empat Singkat kata, kalau di tahun Masehi, kita penuhi dengan resolusi dan mimpi pribadi. Mari jadikan tahun Hijriah penuh dengan mimpi keumatan 💪🏻. *Selamat Tahun Baru Hijriah ke 1442.*
Putu Rahwidhiyasa Praktisi Bank Syariah, Mantan Direksi Bank Syariah Mandiri Disampaikan pada Webinar MES & UIN Jakarta, 23 Juni 2020
Beberapa Kondisi @Pandemi atau @NewNormal.
Pandemi Covid-19 mengakibatkan banyak perubahan secara global. Dari sekian banyak perubahan, kita sebut saja beberapa, yaitu: Pertama, pertumbuhan ekonomi cenderung menurun secara global. Banyak data telah di-share oleh berbagai pihak, yang dapat digunakan untuk menyiapkan action plan dalam menanggulangi kondisi tersebut bersama-sama dan bergotong royong sebagaimana budaya masyarakat Indonesia.
Kedua, Tuna Karya atau orang yang kehilangan pekerjaan cenderung meningkat. Peningkatan ini terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang menurun. Semoga dengan terkendalinya wabah Covid-19, ekonomi akan segera membaik dan mereka akan mendapatkan kembali pekerjaannya.
Ketiga, perilaku keseharian masyarakat berubah. Perilaku yang cukup logis adalah ada masyarakat yang cemas dengan kesehatan masing-masing. Walaupun ada yang biasa-biasa saja atau bahkan cuek, mungkin karena tidak paham atau merasa yakin akan tetap sehat dengan berbagai alasan. Kecemasan bisa berdampak positif karena mereka menjadi lebih hati-hati dan mengikuti protokol kesehatan dengan baik.
Hal lain yang terjadi adalah perubahan dalam pola hubungan masyarakat. Di masa sebelum Covid-19 ada komunitas-komunitas yang berkumpul dengan jadwal tertentu untuk ngopi, fitnes atau bersepeda atau olah raga lainnya bersama, pengajian bersama, dll. Di masa pandemi, jadwal kegiatan-kegiatan di atas mengalami perubahan, atau ada ahli yang menyebut dengan desinkronisasi kehidupan. Jadwal anggota komunitas menjadi berbeda dengan sebelumnya, sehingga menjadi tidak sinkron lagi satu sama lain. Akibat yang muncul adalah terbentuk komunitas-komunitas baru dengan jadwal pertemuan baru. Pertemuan-pun melalui aplikasi virtual. Misal, makin banyaknya komunitas “khataman” yang membagi anggotanya dengan “jatah” juz Al Qur’an yang dibacanya dengan khataman bersama via virtual dalam periode waktu tertentu.
Kondisi lain yang terjadi adalah kecenderungan meningkatnya kepedulian sosial. Ini merupakan salah satu karakteristik masyarakat Indonesia, suka menolong. Di awal pandemi, kepedulian muncul kepada kelompok masyarakat yang berkurang penghasilan dengan memberikan bantuan langsung seperti kepada pengemudi ojek online, pengemudi taksi dll. Akhir-akhir ini kepedulian ada yang bergeser kepada membantu komunitas terdekat seperti sesama penghuni kompleks tertentu, sesama orang tua sekolah tertentu, sesama alumni tertentu dll. Bentuk bantuan dapat berupa membeli “sesuatu” yang ditawarkan sesama komunitas via group-group chatting. Penggunaan eCommerce atau channel modern juga cenderung meningkat.
Jual beli yang sebelumnya bisa lintas negara dengan wisata ke luar negeri, sekarang cenderung bergeser ke belanja lokal, yaitu belanja dari sesama komunitas dengan alasan untuk saling membantu. Fenomena ini merupakan peluang baik untuk produk dalam negeri untuk tumbuh, tentu yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Keempat, perilaku konsumsi berubah. Pola belanja baru dari sesama komunitas di atas, umumnya untuk kebutuhan pokok atau yang masuk kategori FMCG (fast moving consumer good) dan kesehatan. Menurut beberapa data, selain FMCG, pengeluaran juga cenderung meningkat di telekomunikasi karena sebagian besar komunikasi dihubungkan dengan alat telekomunikasi. Hasil penelitian dari beberapa pihak juga menunjukkan pengeluaran rumah tangga cenderung menurun di bidang leisure, transportasi dan pendidikan. Pembaca dapat meng-konfirmasi data tersebut via mbah google.
Kesiapan SDM Perbankan Syariah @NewNormal
Beberapa kondisi di atas mengharuskan insan perbankan syariah (bankir syariah) untuk beradaptasi agar tetap dapat berkontribusi terhadap pengembangan perbankan syariah khususnya, dan ekonomi syariah umumnya serta untuk diri sendiri dan keluarganya.
Pertama, mengendalikan kecemasan. Manusiawi bila bankir syariah juga cemas dengan kondisi kesehatan diri, keluarga dan kerabatnya. Namun, roda kehidupan berjalan terus. Semua harus melangkah maju dengan tetap mengikuti protokol kesehatan sesuai arahan pemerintah atau tenaga medis. Di samping itu, tetap berdoa mengharap lindungan Allah swt. Bila rasa cemas masih belum dapat dikendalikan, bisa dicoba untuk konseling dengan pihak tertentu yang dapat dipercaya.
Kedua, membantu sosialisasi protokol kesehatan kepada keluarga, tetangga, nasabah dan ummat. Bankir syariah diyakini memiliki pemahaman tentang protokol kesehatan yang baik karena memiliki jalur komunikasi terstruktur di internal bank masing-masing. Bankir syariah diharapkan dapat membantu menjelaskan tentang protokol kesehatan, minimal kepada nasabahnya. Jika masyarakat melaksanakan protokol kesehatan, Insyaa Allah pandemi Covid-19 lebih cepat terkendali dan ekonomi kembali tumbuh lebih cepat.
Ketiga, memahami perubahan landscape perbankan ke depan. Sebagaimana dibahas di atas, perilaku masyarakat dan perilaku konsumsi telah banyak berubah. Tentunya hal ini akan berdampak pada perubahan hubungan masyarakat dengan perbankan. Jika, bankir syariah mampu mengikuti perubahan yang terjadi dan menggunakan cara-cara baru (seperti memanfaatkan teknologi atau pembuatan produk baru) untuk memenuhi kebutuhan nasabah, Insyaa Allah makin banyak masyarakat ke bank syariah.
Keempat, menjaga dan meningkatkan produktivitas. Di masa pandemi, sesuai anjuran pemerintah, sebagian pegawai melaksanakan pekerjaan dari rumah (work from home / WFH). WFH diharapkan tetap dapat menjaga tingkat produktivitas dan bahkan meningkat karena tidak ada waktu yang terpakai di perjalanan pergi dan pulang ke/dari kantor.
Apalagi bagi bankir syariah, bekerja adalah bagian dari ibadah, bahkan ada hadist (H.R. Thabrani) yang menyetarakan pahala bekerja dengan jihad. Di samping itu, bankir syariah memahami bahwa pekerjaan mereka “dilihat” oleh Allah swt, Rasul, dan orang mukmin sebagaimana tercantum antara lain di surat At-taubah ayat 105: “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasulnya dan orang-orang mukmin …”.
Tambahan lagi, bankir syariah pasti memahami maqashid shariah (tujuan syariah) yang bisa dikatakan sebagai purpose (tujuan) bankir syariah bekerja, yaitu: memberikan kemaslahatan (manfaat) kepada umat (nasabah). Khairunnas anfa’uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lain (H.R. Bukhari Muslim). Bankir syariah bekerja untuk memenuhi kebutuhan yang bermanfaat bagi nasabah atau masyarakat. Jadi, dengan alasan-alasan di atas, produktivitas bankir syariah diharapkan tetap terjaga dan bahkan meningkat.
Kelima, meningkatkan kompetensi menghadapi perubahan. Perubahan yang banyak terjadi, tentunya harus dihadapi dengan perilaku yang lebih inovatif dan kreatif. Bankir syariah harus mampu membuat terobosan untuk mendapatkan nasabah baru. Misal, dengan menyelenggarakan webinar-webinar dengan topik yang sesuai untuk komunitas-komunitas tertentu. Webinar tidak memerlukan sewa hotel, menyiapkan konsumsi dll untuk peserta.
Agar lebih inovatif dan kreatif, bankir syariah dapat melengkapi kompetensi-nya dengan bermacam cara. Misal, mengikuti pelatihan (webinar) tentang Design Thinking, Digitalisasi (Teknologi) dan pengembangan Business Model Canvas (9 buildingblock).
Keenam, meningkatkan kepedulian sosial. Dampak covid-19 yang perlu mendapat perhatian juga adalah kecederungan meningkatnya Tuna Karya atau orang yang kehilangan mata pencaharian. Bankir syariah, sama dengan masyarakat lainnya yang lebih mampu, di masa pandemi atau new normal umumnya, diharapkan lebih meningkat kepedulian sosialnya, lebih meningkatkan porsi ZISWAF (zakat, infaq, shadaqah, wakaf) pribadi. Di samping itu, bankir syariah dapat lebih mempromosikan produk ZISWAF dari bank masing-masing agar masyarakat yang lebih berkecukupan dimudahkan untuk membayarkan ZISWAF seperti via mobile banking masing-masing bank. ZISWAF yang terkumpul dapat digunakan untuk membantu masyarakat yang terdampak.
Dari sisi bank syariah, perannya untuk masyarakat di era pandemi dan new normal dapat disinkronisasikan dengan Program Keuangan Berkelanjutan, terutama di sisi sosial dalam bentuk Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Khusus hal ini akan dibahas secara terpisah.
Semoga kita semua dapat melewati masa pandemi Covid-19 dan juga menjalani new normal dengan sehat, sabar, dan kuat serta dapat berkontribusi lebih nyata kepada bank masing-masing, kepada masyarakat dan negara. Aamiin.
Putu Rahwidhiyasa Praktisi Bank Syariah, Mantan Direksi Bank Syariah Mandiri
Literasi dan inklusi Keuangan Syariah masih termasuk rendah. Di tahun 2019, indeks literasi Keuangan Syariah hanya 8,93%. Artinya, hanya 9 orang dari 100 orang penduduk Indonesia yang mengetahui industri keuangan syariah. Indeks inklusi Keuangan Syariah sedikit lebih baik, yaitu: 9,1%. Namun, artinya tetap sama dengan literasi, yaitu: hanya 9 orang dari 100 orang penduduk Indonesia yang memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan syariah.
Sosialisasi untuk meningkatkan literasi dan pemasaran untuk meningkatkan inklusi memang memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang besar. Sementara industri keuangan syariah masih termasuk baru dan dengan ukuran aset yang rata-rata baru tumbuh bila dibandingkan dengan ekonomi konvensional.
Upaya literasi mendapatkan peluang peningkatan di masa pandemi Covid-19 saat ini. Di satu sisi, pandemi Covid-19 merupakan kejadian yang harus diwaspadai bagi kesehatan masyarakat dan ummat. Namun, di sisi lain membuka peluang literasi yang masif dan murah bagi Keuangan Syariah. Maksudnya, saat ini mayoritas masyarakat diminta beraktivitas dari rumah. Bekerja, beribadah, beraktivitas dan berkomunikasi dari rumah.
Komunikasi menggunakan aplikasi-aplikasi rapat jarak jauh, sebut saja webex, team meet, zoom, dll. Tentu dengan memperhatikan aspek keamanan (data) penggunaannya. Kondisi inilah yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang literasi. Literasi melalui aplikasi komunikasi tersebut. Caranya bisa bermacam-macam, salah satunya literasi via webinar yang masif. Webinar tidak memerlukan sewa tempat, konsumsi, transportasi dll yang di masa lalu menjadi salah satu tantangan dalam literasi Keuangan Syariah.
Tentunya webinar untuk tujuan literasi ini perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama, perlu ditetapkan sasaran peserta. Misal: pengusaha, pegawai, ibu rumah tangga, mahasiswa, dosen, guru, dll. Masing-masing segmen ini memerlukan materi atau topik webinar yang berbeda, yang bermanfaat dan memberikan “keuntungan” kepada pesertanya, sehingga harus disiapkan sesuai kebutuhan.
Kedua, literasi via webinar yang masif dan terstruktur harus dikoordinasikan dengan baik agar tidak tumpang tindih (overlapping) satu sama lain dan dengan selang waktu yang baik agar tidak berlebihan dan tidak membuat bosan. Peran koordinasi dapat dilakukan oleh asosiasi-asosiasi di masing-masing industri Keuangan Syariah, misal: ASBISINDO (Asosiasi Bank Syariah Indonesia), AASI (Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia), dll. Bahkan bisa dikoordinasikan lintas industri oleh asosiasi atau perkumpulan besar bila literasi yang lebih bersifat umum. Misal: IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia), dan MES (Masyarakat Ekonomi Syariah).
Bagaimana pelaksanaan dari butir pertama dan kedua di atas? Kita ambil contoh: Mahasiswa program studi (prodi) Ekonomi Syariah dan Perguruan Tinggi-nya. Mahasiswa memerlukan sharing aplikasi ilmu dari praktisi ekonomi syariah. Perguruan Tinggi terbantu bila para mahasiswa-nya terekspose dengan aplikasi ilmu di industri. Industri Ekonomi Syariah juga terbantu bila para mahasiswa memahami kondisi dan perkembangan ekonomi syariah yang pada gilirannya dapat membantu industri melaksanakan literasi ke pihak-pihak lainnya pada saatnya, setidaknya utk diri sendiri dan keluarganya. Bahkan bisa menjadi nasabah atau praktisi di ekonomi syariah.
ASBISINDO atau AASI dapat menyusun “kurikulum webinar” dengan materi aplikatif yang terbuka untuk semua mahasiswa prodi ekonomi syariah di seluruh Indonesia dan lintas perguruan tinggi. Pemateri dapat bergantian dan terjadwal dari senior management di masing-masing lembaga keuangan anggota asosiasi. Sekali lagi, Pemateri, Materi dan Jadwal diatur oleh Asosiasi agar tidak tumpang tindih dan tidak berlebihan. Toh, hasil literasi akan “dinikmati” bersama oleh industri dalam bentuk perluasan pasar. Materi tentunya di-stempel dengan logo Asosiasi dan bukan logo individu perusahaan masing-masing agar semangat kerjasama di industri tetap terjaga.
Perguruan Tinggi juga diharapkan dapat mengakomodir kegiatan webinar yang diikuti mahasiswanya di atas sebagai bagian dari program kuliah prodi yang bersangkutan. Perguruan Tinggi dapat berkomunikasi dua arah dengan Asosiasi untuk menyepakati materi-materi yang dapat diakui sebagai bagian nilai di SKS (Satuan Kredit Semester). Komunikasi ini juga diharapkan dapat meng-update kurikulum kuliah secara cepat dengan perkembangan industri yang terjadi. Komunikasi antara Perguruan Tinggi dan Asosiasi juga dapat menggunakan fasilitas webinar, sehingga dapat menjangkau secara luas.
Perguruan Tinggi juga dapat mengusulkan agar Asosiasi dapat menerbitkan Sertifikat Online atas kepesertaan mahasiswa dalam webinar-webinar yang diikuti sebagai pertimbangan dalam pemenuhan SKS. Bahkan bisa saja Perguruan Tinggi juga memperkenankan mahasiswa di prodi selain ekonomi syariah untuk mengikuti webinar-webinar tersebut. Dalam contoh ini, Mahasiswa – Perguruan Tinggi – Industri sama-sama mendapatkan manfaat yang saling menguntungkan. Semoga.
Contoh di atas dapat dikembangkan dengan sasaran peserta lainnya, yaitu: pengusaha, pegawai, ibu rumah tangga, dosen, guru, dll.
Insyaa Allah literasi keuangan syariah akan lebih cepat peningkatannya. Aamiin yaa rabbal aalamiin.
Widodo Darojatun, S.Pi, MBA Pendiri Innovation Center di Bank Syariah Mandiri
Tanggal 29 Mei 2020 adalah momen di mana masyarakat Indonesia masih berada dalam kondisi sulit bergerak secara fisik, sejak dua bulan sebelumnya, Maret 2020. Bangsa ini sedang mengalami krisis aktivitas, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), akibat virus yang mirip dengan virus flu. Hanya saja sangat menular dan mematikan. Penyakit akibat virus corona ini secara resmi dinamai Covid19 (Corona VIrus Desease 2019), penyakit akibat virus corona yang muncul di tahun 2019. Di momen serba sulit beraktivitas ini, hanya untuk pekerjaan yang maha penting saja, masyarakat diijinkan untuk beraktivitas di kantor. Selebihnya diminta untuk tinggal di rumah. Kerja dari rumah. Kondisi ini mengakibatkan krisis yang dialami hampir seluruh negara di dunia. Negara maju Amerika pun kehilangan 100 ribu nyawa hanya dalam 5 bulan, akibat Covid19. Total kematian global mencapai 360 ribu orang, dalam 6 bulan pertama. Dampak ikutannya tidak kalah mengerikan. Pengangguran langsung melonjak, langsung menghapus angkatan kerja yang berhasil ditambahkan sejak 90 tahun terakhir, sejak krisis global The Great Depression. Perusahaan banyak yang gulung tikar. Kredit macet di perbankan tak terelakkan. Banyak yang sangat waswas, masihkan bisa hidup? Masihkah bisa mempertahankan pendapatan? Pekerjaan? Orang seketika haus mencari jawaban atas kegusaran itu. Maklum, “nyawa finansial” ada di ujung tanduk. Apakah kita akan bangkrut? Masih adakah jalan keluar? Apakah inovasi bisa menjadi juru selamat? Aksioma INOVASI ATAU MATI seakan sudah mengetuk di depan pintu, membawa dua pil, warna merah akan membawa kematian, warna biru membawa keberkahan. Apakah kita sanggup memilih dan menelan pil biru inovasi sehingga selamat dari kematian bisnis, pekerjaan, dan karir?Kegelisahan itulah yang barangkali membawa 600-an pegawai di perusahaan tempat kami bekerja untuk mengikuti kajian online. Via video conference. Bertema inovasi. Di akhir bulan Mei. Saya sebagai salah satu dari tiga panelis melihat antusiasme peserta sangatlah baik. Menandakan bahwa pencarian PIL BIRU inovasi betul-betul serius. Pesertanya pun cukup mewakili hampir seluruh komponen organisasi. Ada Direksi, Senior Vice President, Vice President, CEO Wilayah, Manajer Area, Kepala Cabang, dan pegawai lainnya. ========== Dalam momen diskusi yang audien-nya sangat beragam tersebut, saya berusaha keras untuk menampilkan materi yang mudah diingat. Memorable. Ilustratif. Visual. Supaya mudah ditangkap, mudah diingat, dan mudah masuk ke alam bawah sadar. Dengan semangat itu, saya coba tampilkan gambar-gambar yang cukup populer. Salah satunya adalah gambar perangkat elektronik pemutar musik digital paling populer sejagat raya di sekitar tahun 2005, iPod. Mirip seperti telepon genggam, namun di dalamnya hanya hanya ada satu aplikasi musik, katakanlah mirip Spotify jaman sekarang. Pengguna bisa memilih lagu dan memutarnya. Perangkat elektronik ini sangat kecil. Kira-kira seperempat dari telepon genggam yang populer di tahun 2020. Perangkat elektronik tersebut saya bandingkan dengan produk penantangnya, Microsoft Zune! Cerita perbandingannya saya ambil dari ulasan Simon Sinek (penulis buku terkenal Starts With Why) tentang Microsoft dan Apple. Dia pernah berinteraksi dengan kedua perusahaan tersebut dan mengamati perilaku para eksekutifnya. Dia menemukan dua mindset yang sangat berbeda di antara dua perusahaan tersebut. Sinek menyampaikan bahwa kira-kira 80% tim eksekutif Microsoft, menghabiskan mayoritas waktu presentasinya, untuk berpikir tentang cara mengalahkan Apple. Sementara di Apple, 100% eksekutifnya menghabiskan 100% waktunya untuk membuat penggunanya terbantu. Membuat guru lebih mudah dalam mengajar menggunakan perangkat Apple. Membuat siswa lebih mudah belajar dengan perangkat Apple. Mendengar ulasan Sinek tersebut, saya begitu yakin bahwa inilah fakta yang dapat dihubungkan dengan tingkat kesuksesan kedua produk tersebut. Keduanya memiliki perbedaan penjualan yang sangat drastis. Zune hanya terjual kurang lebih 2 juta unit. Sementara iPod terjual kurang lebih 400 juta unit. Menanggapi dan menegaskan uraian tersebut, salah satu pejabat di cabang menyederhanakan bahwa perusahaan yang satu berambisi untuk memenangkan kompetisi. Sementara perusahaan lainnya berambisi untuk menciptakan kebaikan bagi konsumennya. Dia sebut dengan istilah yang lebih populer di kalangan muslim, “Apple itu hanya memikirkan masalah, maslahah, maslahah”. Ini ibarat hidup komplek perumahan. Ada warga yang selalu iri dengan apa yang dilakukan tetangga. Kalau ada yang beli kulkas, kita tiba-tiba ingin beli kulkas. Ada tetangga beli mobil baru, kita terpancing ingin beli mobil baru. Tetapi ada juga warga yang sangat bersahaja. Dia tidak pernah iri dengan apa yang dimiliki oleh tetangganya. Dia hanya terus berpikir bagaimana caranya berbuat baik bagi orang lain. Melanjutkan uraian di atas, saya pun tetiba teringat dengan salah satu kisah Nabi Muhammad SAW, menjelang wafatnya. Kalimat terakhir yang terucap adalah “ummatku, ummatku, ummatku”. Beliau masih memikirkan ummatnya, ketika harta paling berharganya, nyawa, hampir tercabut dari badannya. Sungguh contoh yang sempurna. Menjelang meninggal saja masih memikirkan ummatnya, bagaimana kalau beliau masih beraktivitas normal? Tentu yang ada di hati, pikiran, dan tindakannya hanyalah “mengalirkan kebaikan bagi ummat dan seluruh alam”. Rahmatan lil ‘alamin. Singkat kata, kalau kita analogikan dengan kehidupan bisnis, Apple ini mirip seperti semangat Nabi Muhammad SAW. Menggunakan 100% waktunya untuk kemaslahatan ummat, a.k.a pelanggan. Mirip juga seperti tetangga yang bersahaja itu. =========== Pembaca yang dirahmati Allah. Apakah Anda seorang pejabat negara atau pimpinan lembaga tinggi negara yang ingin membuat bangsanya maju? Atau seorang menteri yang ingin tugasnya tercapai gemilang? Seorang CEO yang ingin kinerjanya mentereng? Manajer yang ingin melampaui target? Ketua RT yang ingin warganya hidup bahagia sejahtera sentosa? Orang tua yang ingin anak-anaknya berprestasi? Atau seorang manusia yang sedang mengejar mimpi apa pun? Atau praktisi yang sedang berikhtiar untuk meningkatkan market-share perbankan syariah? Mari kita bedah isi pikiran kita, dan bertanya: A. Berapa persen dipenuhi semangat menciptakan kemudahan bagi ummat? B. Berapa persen dipenuhi semangat meningkatkan kepemilikan duniawi? Harta, jabatan, nama baik, target finansial, dst? Bila kita sedang berkelompok, berorganisasi, mari hitung perbandingan A dan B tersebut di agenda-agenda rapat kita, obrolan kita, dan lamunan kolektif kita! Barangkali itu semua mewakili kualitas masa depan organisasi tempat kita berada. Bandingkanlah keduanya! Saya berharap isi pikiran kita mirip seperti tim eksekutif Apple. Seperti Nabi Muhammad SAW. Seperti tetangga kita yang bersahaja. Yang hanya berpikir “ummati, ummati, ummati”, “customer-ku, customer-ku, customer-ku”. Wallahualam. =========== Link Youtube Simon Sinek: https://www.youtube.com/watch?v=x5nAaxIkmFE Link Zune terjual: https://en.wikipedia.org/wiki/Zune Link iPod terjual: https://en.wikipedia.org/wiki/IPod NB: Kalau market-share perbankan syariah stagnan di kisaran 5-6%, mungkin kita perlu periksa agenda harian kita. Apakah memang hanya 5-6% waktu dan pikiran kita digunakan untuk menciptakan solusi bagi nasabah?